Assalamu'alaikum sobat, dapet forward email dari kawan, insyaAllaah bermanfaat kalau saya posting. hehehe..
Seru euy, dan saya rasa perlu diperbanyak orang-orang seperti Pak Dahlan ini...
BUMN
Dahlan Iskan ngamuk! Lempar kursi di pintu tol Semanggi! Lalu
membebaskan mobil masuk tol tanpa bayar! Alias gratis. Musababnya,
terlalu panjang antre di depan pintu tol hingga 30 mobil" Terlalu lama
pelayanan pembayaran di gerbang tol. Dari 4 gerbang, hanya satu yang
berfungsi dengan petugas manual, dan satu GTO – gerbang tol otomatis.
Dua loket lainnya kosong, tanpa petugas, tidak dibuka.
Kebetulan, pagi itu, Mercedes Benz
L-1-JP S-500 hitam lewat. Pasti, dia juga merasakan dampak buntut
panjang antrean itu. Saya bisa membayangkan, bagaimana Dahlan Iskan
keluar mobil. Dengan kets dan baju putih lengan panjangnya. Lalu
ngomel-ngomel pada petugas tol. Terus, tidak ada yang berani menjawab.
Lalu, mengecek sendiri ke loket pembayaran tol, tidak ditemukan petugas.
Wow, intonasinya pasti tambah kencang! Kursi di loket pun
“dideportasi”. Dianggap tidak berguna! Lalu dia atur lalu lintas
sendiri, sambil memastikan antrean tidak boleh lebih dari lima mobil di
semua pintu tol, seperti pesan dia kepada jajaran direksi PT Jasa Marga
yang baru.
Pasti serem, gaduh, tegang suasana pagi itu. Di BBM Group, Facebook, Twitter, dan berita news up date di beberapa
dot.com
juga ikut heboh. Yang saya heran, ini ada “orang ngamuk” kok malah pada
senang? Itu kan sama halnya dengan, menari di atas penderitaan orang
lain? “Marah” kok malah dijadikan tema diskusi publik yang tak
habis-habis sampai sore. “Marah” kok jadi bahan canda dan tawa? Puluhan
kawan yang foreward pesan itu ke HP saya.
“Ngamuknya” Dahlan Iskan keren! “Ngamuknya” kreatif! Hah? Coba,
darimana rumus logika yang bisa menyambungkan makna kata “mengamuk” dan
“keren”" Darimana cara menjelaskan koneksitas antara “ngamuk” dan
“kreatif”? Dua kata yang nyaris bersifat resiprokal dan paradoks.
Mengamuk itu identik dengan sikap emosional, kata-kata pedas, bahkan
menjurus kasar, bernada tinggi dan meledak-ledak. Sedang “keren” itu hal
yang positif, bagus, menarik, menyenangkan. Mana ada kata-kata ketus
yang menyenangkan" Yang pedas dan nikmat, itu hanya rujak uleg atau
rawon setan saja.
Ada juga yang bilang: “Biar kapok loe, Direksi Jasa Marga! Ganti
saja kalau malas bekerja dan tidak serius!” Waduh, kali ini sudah satu
level lebih tinggi dalam memaknai “ngamuk”nya Dahlan Iskan. Rupanya
“ngamuk” itu bisa menyetrom orang lain, bahkan bisa memprovokasi mereka
untuk ikut-ikutan bersikap “ngamuk”. Rupanya, “ngamuk” itu semacam virus
berbahaya yang bisa mewabah dan menular dengan cepat melalui BBM.
Kekagetan publik melihat ngambek, ngomel dan ngamuk ala Dahlan Iskan
itu, bisa saya dimengerti. Banyak orang awam yang tidak yakin, bahkan
seperti bermimpi saja, seorang menteri secara vulgar melempar kursi ke
luar gardu, lalu mengatur lalulintas sendiri. Kurang kerjaan banget.
Cara marah dengan melempar kursi itu sebenarnya hanya satu level
terbawah yang biasa dilakukan mantan Dirut PLN ini. Orang bisa saja
mengira, marah kok punya gaya.
Bagi saya yang sudah hampir 20 tahun bekerja di Group Jawa Pos, dan
juga kawan-kawan yang sudah lama mengenal Dahlan, tentu sudah kenyang
dengan cara ngamuknya yang amat khas. Pernah, di ruang redaksi Jawa Pos
Graha Pena Surabaya, di lantai empat, di toilet pria dia temukan putung
rokok. Bukan main marahnya! Sampai satu minggu penuh, toilet pria dia
segel! Artinya, kalau kru redaksi hendak ke toilet harus numpang di
ruangan yang berbeda.
Dia tulis sendiri, dia segel sendiri, dia lem sendiri di pintu.
“Toilet Disegel!” sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kru redaksi
pun saling melempar kesalahan, meskipun tidak ada yang berani mengakui
siapa “biang kerok”-nya yang merokok di toilet. Sejak itu, toilet tidak
lagi dipakai untuk merokok. Apalagi membuang putungnya.
Masalah putung rokok, juga pernah merepotkan seluruh awak redaksi di
kantor Karah Agung, Surabaya. Kala itu, ada smoking area di antara
masjid dan ruang pra cetak Jawa Pos. Orang biasa menghisap tembakau
bakar di situ. Dia tidak anti, tidak melarang merokok, tapi juga tidak
pro rokok. Tetapi, gara-gara ada yang buang putung sembarangan, maka
semua orang yang ada di situ, ---tidak peduli yang merokok maupun yang
tidak---, diwajibkan kerja bakti memunguti putung, bekas korek api, dan
bungkus rokok yang berserakan di seluruh lingkungan.
Mengapa yang bukan perokok juga dikenai sanksi? “Karena membiarkan
temannya berbuat buruk dan merusak kesehatannya!” jawab Dahlan, saat
ditanya. Membiarkan orang lain “terjerumus” itu termasuk dosa! Termasuk
pelanggaran, dan harus turut menanggung risikonya!
Dia juga pernah melempar komputer di lantai yang sama. Gara-garanya
kesalahan editing, kesalahan redaksi. Dia banting komputer di depan
orang yang membuat kesalahan yang dinilai fatal itu. Tentu, sebelumnya
diawali dengan suara keras, intonasi keras, dan tatapan mata yang
tajam.
Itu masih belum seberapa! Saat berkantor di Karah Agung Surabaya,
pintu masuk kantor kami ada deretan telepon umum. Sekitar tahun, 1995,
Dahlan masih mengendarai Isuzu Panther putih bernopol L-10-NE. Hobinya
memang menyetir, ngebut, cepat sampai tujuan, dan zero accident. Banyak
orang umum yang telepon di situ, dan memarkirkan kendaraanya
sembarangan. Terkadang menutup akses masuk, yang amat merepotkan.
Padahal, lokasi telepon umum itu bersebelahan dengan jalan masuk ke
kantor dan ruang satpam. Dan, berkali-kali satpam sudah diingatkan, agar
posisi parkir sepeda motor yang hendak telepon itu diatur yang rapi!
Ibarat penyakit kambuhan, masih saja parkirnya asal dan menutup akses.
Suatu ketika, Dahlan sengaja menyerempetkan mobilnya itu ke kerumunan
sepeda motor sampai terjatuh. Berapa pun biaya perbaikannya dijamin,
tetapi message-nya adalah jaga kerapian, jaga kedisiplinan, tegakkan
aturan dan tegur yang salah. Jangan dibiarkan, karena mereka akan
bertambah liar.
Ah, masih ada 1001 macam cara marah Dahlan Iskan. Di berbagai kasus,
di berbagai daerah, di berbagai level manajemen yang berbeda, reaksi
marahnya juga berbeda. Kontekstual dan spontan. Karena itu, Ary Ginanjar
Agustian, yang kemarin siang berkunjung ke redaksi INDOPOS menyebut,
sosok Dahlan Iskan itu sebagai authentic leadership!
“Ciri seseorang memiliki Authentic Leadership adalah spontanitas dan
berkecepatan tinggi. Konsep decision making dalam leadership model ini
sangat cepat, karena dia bukan saja dituntun oleh pikirannya, tetapi
juga oleh intuisinya. Dan, intuisi atau mata hati mampu melihat 70 kali
lebih cepat dibandingkan dengan mata kepala. Seorang authentic leader
percaya dengan hatinya,” komentar Presdir ESQ 165 yang sudah eksis sejak
2001 ini.
Nah loe! Masih mending hanya melempar kursi di gerbang tol Semanggi. Masih untung, bukan mengganti kursi direksi! (*)
(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi-Direktur INDOPOS, Wadir Jawa Pos.