Minggu, 04 Maret 2012
Belajar dari cerita bhayangkara
Ada setidaknya dua peristiwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar di Jawa yang melibatkan nama bhayangkara. Pertama, pemberontakan Kalana Bhayangkara pada masa pemerintahan Raja Kertanegara di Singasari. Kedua, kisah tentang Pasukan Bhayangkara di bawah kepemimpinan Gajah Mada yang menyelamatkan Raja Jayanegara di Majapahit.
Kalana Bhayangkara adalah nama yang misterius. Kidung Panji Wijayakrama menyebut namanya lengkap. Kalana berarti pemberontak atau penjahat, adapun bhayangkara berarti penjaga keselamatan raja atau pelindung raja. Pararaton menyebut nama pemberontak itu sebagai Kalana Bhaya, sedangkan Nagarakretagama menyebutnya sebagai Caya Raja yang atinya sama dengan penjaga keselamatan raja.
Bhayangkara barangkali satu-satunya pemberontakan gagal yang tercatat dalam sejarah Singasari. Keberadaan kerajaan itu selama sekitar 70 tahun memang diwarnai pemberontakan oleh kerabat dekat raja. Dan uniknya, hampir semua pemberontakan itu berhasil.
Raja pertama, Rajasa alias Ken Arok, ditumbangkan oleh Anusapati, anak tirinya. Anusapati dibunuh oleh adik irinya, Panji Tohjaya. Tak lama kemudian Tohjaya digulingkan oleh keponakannya, Ranggawuni. Kertanegara, raja terakhir, adalah anak Ranggawuni.
Kertanegara adalah raja terbesar Singasari dan berani menentang kekuasaan Khubilai Khan dari Mongol. Pemberontakan Kalana Bhayangkara terjadi pada masa pemerintahan Kertanegara.
Ketika baru naik tahta, Kertanegara melakukan perombakan kabinet. Dia mengubah orientasi kekuasaan menjadi ekspansif dan mencopot Patih Raganata. Dia juga melengserkan Demung Wiraraja dan menempatkannya hanya sebagai bupati di Madura Timur.
Banyak pejabat lain yang dipecatnya. Kebijakan ekspansif Kertanegara yang ditentang oleh Raganata itu kelak diwujudkan oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapa.
Sejarawan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menyimpulkan bahwa pemberontakan Kalana Bhayangkara adalah reaksi atas perombakan pejabat penting pada awal masa pemerintahan Kertanegara, terutama pencopotan Raganata.
Pemberontakan yang hanya melibatkan orang-orang di ibukota ini gagal total dan Kalana Bhayangkara terbunuh. Pemberontakan karena alasan yang sama di Singasari baru berhasil ketika Wiraraja, yang juga dicopot dari jabatan penting, bersekutu dengan Jayakatwang dari Kediri. Pemberontakan terakhir ini meruntuhkan kerajaan Singasari.
***Warisan Gajah Mada
Cerita tentang bhayangkara pada masa Singasari tidak sepopuler cerita tentang bhayangkara di zaman Majapahit. Pada zaman Majapahit, kata bhayangkara dilekatkan pada Gajah Mada, mahapatih dengan peran politik terbesar sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Nama Gajah Mada dan pasukannya yang bernama bhayangkara mulai dikenal saat terjadi pemberontakan kaum Dharma Putra di bawah kepemimpinan Ra Kuti. Kuti menguasai ibukota Majapahit dan menggulingkan Raja Jayanegara.
Gajah Mada, yang ketika itu memimpin pasukan pengawal raja, membantu Jayanegara melarikan diri dari ibukota dan menyembunyikannya dari kejaran pasukan pemberontak.
Cerita rakyat menyatakan dalam pelarian di Desa Badander itu, satu dari 15 anggota Pasukan Bhayangkara menyatakan ingin pulang ke ibukota. Gajah Mada melarangnya, namun prajurit itu ngotot. Akhirnya, prajurit itu dibunuh karena diduga akan membelot.
Gajah Mada kemudian melancarkan operasi intelijen untuk menyelidiki kondisi ibukota Majapahit di bawah Kuti. Dia menggelar survei kilat untuk memetakan sikap para bangsawan kerajaan terhadap posisi Jayanegara. Dari sana dia tahu bahwa dukungan publik terhadap Jayanegara masih kuat.
Dengan bantuan para bangsawan di pusat kota, Gajah Mada bersama Pasukan Bhayangkara berhasil memukul balik Kuti dan mendudukkan kembali Jayanegara ke istana untuk kedua kalinya.
Setelah Jayanegara meninggal, Majapahit dipimpin oleh Tribuwana Tunggadewi yang kemudian mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih. Kedudukan mahapatih saat itu kira-kira dapat disamakan dengan perdana menteri dalam era politik modern.
Sewaktu diangkat menjadi mahapatih pada tahun 1334, Gajah Mada yang digambarkan oleh Muhammad Yamin sebagai orang gempal berbadan besar itu mengucapkan Sumpah Palapa. Dia berhasil mewujudkan ambisi menundukkan banyak wilayah baru, agak serupa dengan keinginan Kertenagara yang dilawan Kalana Bhayangkara.
Karier politik Gajah Mada berakhir setelah dia dianggap salah strategi dalam menundukkan Sunda sehingga menimbulkan tragedi Bubat. Tidak disebutkan apakah nama bhayangkara masih digunakan di Majapahit setelah era Gajah Mada. Yang pasti, nama pasukan pengawal raja yang dia pimpin dalam menyelamatkan Jayanegara itu diadopsi oleh Polri.
Belakangan ini, posisi ‘bhayangkara negara’ era modern itu menjadi pusat perhatian. Seakan-akan bertubi-tubi kasus mencuat. Ada cerita cicak-buaya, pembunuhan direksi BUMN, saling tuding lewat media publik, dugaan pencemaran nama baik, dan sebagainya.
Berkaca pada cerita Kalana Bhayangkara dan Gajah Mada, para penyandang nama bhayangkara pada zaman kerajaan ternyata tidak semuanya bersih dan setia. Ada juga yang bernoda. Kalana Bhayangkara memberontak terhadap raja setelah Raganata dicopot dari jabatan. Satu anggota pasukan Gajah Mada harus mati karena diduga akan membelot. Nah, kita masih menunggu cerita tentang 'bhayangkara' zaman modern.
*) versi lebih panjang dimuat di Bisnis Indonesia edisi 3 April 2010
Diposting oleh
dhodjuan
di
Minggu, Maret 04, 2012
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar
saran dan kritik sangat dibutuhkan bagi www.bhayangkara87.blogspot.com